Program ini merupakan bagian dari Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang diinisiasi oleh Kampus Merdeka. Program MSIB bertujuan memberikan pengalaman kerja nyata yang relevan dengan isu-isu lokal, sekaligus mendukung pengembangan mahasiswa sebagai generasi unggul yang peduli terhadap lingkungan.
Rafly terlibat dalam berbagai aktivitas untuk mendukung kedaulatan pangan di Desa Mahal, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata. Sebagai enumerator, Rafly bertanggung jawab dalam mengumpulkan data rumah tangga yang mencakup pola konsumsi pangan, potensi pertanian lokal, serta mendata jenis-jenis pangan lokal yang berlimpah, seperti jagung, singkong, dan jambu mete.
Data ini nantinya akan menjadi bahan analisis yang digunakan dalam penyusunan kebijakan terkait ketahanan pangan di wilayah tersebut.
“Program ini sangat berkesan karena memberi saya kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat, melihat kondisi nyata mereka, dan belajar dari kearifan lokal yang ada. Saya sangat bersemangat karena dapat mendukung pemanfaatan pangan lokal yang dapat menunjang perekonomian desa,” ujar Rafly saat diwawancara via Whatsapp Rabu 30 Oktober 2024.
Kabupaten Lembata, menurut Rafly, memiliki potensi alam yang melimpah, tetapi keterbatasan akses pasar menjadi tantangan tersendiri dalam memanfaatkan sumber daya tersebut.
Kegiatan utama yang ia lakukan di desa, selain pengumpulan data lapangan, adalah mengisi pangkalan data pada web Sidakerta, yang diharapkan dapat membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat lokal.
Tak hanya itu, antusiasme masyarakat lokal terhadap program ini juga tinggi. Warga setempat menyambut kehadiran mahasiswa dengan hangat, membantu mereka dalam proses pendataan pangan lokal, serta turut berpartisipasi dalam diskusi mengenai pengembangan produk pangan yang bernilai tambah.
“Keterbukaan dan kehangatan masyarakat membuat saya merasa diterima. Mereka sangat kooperatif, sehingga pendataan berlangsung dengan baik dan efektif,” tambahnya.
Namun, menjalankan program ini tidak lepas dari tantangan. Rafly harus menghadapi hambatan bahasa dan keterbatasan akses transportasi, yang menuntut stamina fisik ekstra. Untuk itu, Rafly dan timnya berupaya menguasai bahasa Kedang dan menyesuaikan jadwal kunjungan sesuai dengan aktivitas masyarakat desa yang sebagian besar bekerja sebagai petani.
Ia menyadari bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga melibatkan interaksi sosial dan kekuatan komunitas lokal dalam mengelola sumber daya alam. Dengan pendekatan sosiologi, ia mampu memahami pentingnya membangun kesadaran kolektif dan praktik-praktik yang mendukung keberlanjutan pangan lokal.
Kepada mahasiswa Unila lainnya, Rafly menyampaikan pesan inspiratif untuk berani mengikuti program MSIB di masa depan.
“Program ini adalah perjalanan yang membuka wawasan kita lebih luas tentang dunia kerja dan pemberdayaan masyarakat. Setiap hari adalah kesempatan untuk belajar dan mengasah kemampuan. Pengalaman ini adalah investasi berharga untuk masa depan kalian,” katanya.
Melalui program ini, Unila berharap mahasiswa dapat menjadi agen perubahan dalam membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan dan memberdayakan masyarakat lokal. (Red)