JAYAPURA -(deklarasinews.com)- Pemerintahan Prabowo-Gibran, melalui Kementerian Koordinator dan Kementerian Transmigrasi, mengangkat kembali program transmigrasi sebagai salah satu agenda kebijakan nasional. Namun, program ini menuai penolakan dari masyarakat Papua, terutama para pemilik wilayah adat yang khawatir akan dampak negatif dari kebijakan tersebut.

Program transmigrasi sejatinya adalah warisan kebijakan kolonial Belanda yang dimulai pada 1905, ketika Asisten Residen Sukabumi, H.G. Heyting, memberangkatkan 155 keluarga dari Jawa ke Godong Taan, Lampung. Pada era Orde Baru, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, program ini berlanjut dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), dengan ribuan kepala keluarga dari Jawa, Bugis, dan Buton yang dikirim ke berbagai wilayah baru, hingga mencapai lebih dari 137.800 keluarga pada Repelita IV di tahun 1984. Program ini membutuhkan lahan hingga 6.899.000 hektar untuk menampung arus urbanisasi yang masif.

Dalam sejarahnya, program transmigrasi telah memicu protes politik dan mendapatkan tanggapan dari kalangan akademisi, seperti para pakar dari P3PK Universitas Gadjah Mada dan lembaga pendidikan perkebunan di Yogyakarta. Hari ini, masyarakat Papua kembali menyatakan keberatan atas rencana transmigrasi baru karena dianggap belum ada evaluasi mendalam tentang keberhasilan program transmigrasi lokal (translok) bagi penduduk asli Papua. Masyarakat mengeluhkan kecemburuan sosial yang meningkat akibat disparitas pendapatan antara transmigran dan penduduk asli, serta kerusakan sumber daya alam, seperti yang terjadi pada transmigrasi di Topo dan Lagari, Kabupaten Nabire, Papua Tengah.

Beberapa poin utama yang menjadi kekhawatiran terkait program transmigrasi yang diinisiasi oleh pemerintah pusat meliputi:

  1. Keterlibatan Penduduk Lokal: Konsep untuk melibatkan penduduk asli Papua di 10 titik transmigrasi dinilai masih belum jelas.
  2. Substansi Program: Pendekatan transmigrasi dalam upaya pengentasan kemiskinan bagi Orang Asli Papua (OAP) dianggap kabur dan tidak memberikan solusi konkret.
  3. Hak Ulayat Adat: Tidak ada gambaran mengenai kepastian hak kepemilikan tanah adat, serta keterlibatan pemilik tanah adat dalam kebijakan transmigrasi ini.
  4. Potensi Konflik Sosial: Jika tidak dikelola dengan benar, transmigrasi berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan, terutama terkait pemanfaatan lahan dan hutan lokal.
  5. Program Revitalisasi: Program revitalisasi di empat wilayah yang tercantum dalam RPJMN dinilai tidak jelas dalam manfaatnya bagi masyarakat Papua dan harus lebih fokus pada pembangunan ekonomi lokal.
  6. Pelatihan Keterampilan Hidup: Diperlukan program peningkatan keterampilan hidup bagi penduduk asli, khususnya OAP, agar mereka dapat beradaptasi dengan baik dalam perubahan sosial-ekonomi.

Dalam sebuah siaran pers pada 7 November 2024, Menteri Transmigrasi menyatakan pentingnya hubungan harmonis antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya. Namun, Sekretaris Aliansi Papua Maju, Benyamin Wayangkau, mengingatkan bahwa di Papua, terdapat pemimpin adat yang memiliki hak komunal atas tanah adat secara turun-temurun. Kepemilikan ini memiliki nilai sakral yang dihormati dan dilestarikan.

Wayangkau menegaskan bahwa pendekatan pemerintah pusat dalam kebijakan transmigrasi perlu mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat Papua, agar manfaat ekonomi bagi masyarakat adat, seperti peningkatan pendapatan dan transfer pengetahuan teknologi yang tepat guna, benar-benar tercapai. Program transmigrasi juga harus dievaluasi secara mendalam, sehingga tidak hanya mengancam hutan dan lingkungan hidup yang penting bagi keseimbangan ekosistem dan upaya global dalam menangani perubahan iklim. (Benyamin Wayangkau, Sekretaris Aliansi Papua Maju )