BANDAR LAMPUNG – (deklarasinews.com) – Survei KPK di 2018 memperlihatkan adanya 82,3 persen dari calon kepala daerah yang diwawancarai mengakui adanya donatur dalam pendanaan pilkada.

Hadirnya donatur disebabkan kebutuhan biaya pilkada lebih besar ketimbang kemampuan harta cakada untuk mencukupi pembiayaan pilkada.

“Sumbangan donatur berkonsekuensi kepada pretensi para sponsor tersebut untuk mendapatkan kemudahan perizinan menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnisnya,” ujar Ketua KPK Firli Bahuri, Selasa, 10 November 2020.

Hasil telaah KPK di 2018 itu juga menemukan sebagian besar cakada, atau 83,80 persen dari 198 responden, mengutarakan mereka akan memenuhi ambisi para donatur tersebut ketika dia menjabat.

Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 Miliar.

Padahal, berdasarkan wawancara mendalam dari survei KPK itu disebutkan, untuk bisa mengikuti tahapan pilkada, pasangan calon di tingkat kabupaten/kota harus memegang uang antara Rp 5-10 miliar, yang bila ingin menang idealnya musti menggenggam dana sekitar Rp 65 miliar.

Responden, dari survei KPK itu, mengatakan bahwa dana terbesar yang dikeluarkan adalah biaya untuk sosialisasi atau pertemuan (60.1%), biaya operasional meliputi logistik, transportasi, konsumsi, atribut, baliho, dan lain-lain (42.4%), biaya saksi (28.3%), dan dana kampanye (24.2%).

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan, meyakini bahwa kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi

Politik uang merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih, yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.

“Dampak politik uang adalah mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi dimana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong,” tandas Abhan.

Menanggapi hal itu, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Lampung, Donny Irawan, mendukung untuk menolak calon kepala daerah dibiayai cukong atau bos.

“Awasi Pilkada di Lampung. Jangan ada intervensi dari cukong, karena berpotensi melakukan gratifikasi dan korupsi,” ujarnya, Kamis, 12 November 2020.

KPK diminta memasang CCTV untuk memantau jika ada bos pemasok modal bagi calonkada di sejumlah daerah.

“Bos penyandang dana menjadi penyumbang gratifikasi bagi kepala daerah yang sudah jadi. Itu politik balas budi,” kata Donny, yang juga owner media online Saibumi.com.

“Biarlah pilkada berjalan dengan baik, tanpa intervensi penyandang dana,” tambahnya.

Dampak negatif

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berpendapat jika kepala daerah terpilih yang saat pilkada dibiayai cukong atau penyandang dana, berpotensi melakukan korupsi kebijakan.

“Ini akan akan lebih berbahaya dampaknya ketimbang korupsi biasa bahkan COVID-19,” ujarnya, di Padang, Sumbar, Kamis, 17 September 2020.

Menurutnya sering setelah terpilih kepala daerah tersebut membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan undang-undang.

Seperti mengeluarkan izin pertambangan yang sudah diberikan oleh kepala daerah sebelumnya kepada orang baru.

“Korupsi kebijakan ini lebih berbahaya dari korupsi biasa karena sifatnya berlanjut. Kalau korupsi biasa hanya sekali, ada APBN lalu dikorupsi, dihukum lalu selesai, kalau kebijakan tidak seperti itu,” ujar Mahfud.

Saat disinggung apakah ada buktinya kepala daerah yang dibiayai cukong terlibat korupsi, Mahfid mengatakan jika buktinya sudah banyak.

“Silakan datang ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin di Bandung. Banyak yang hasil operasi tangkap tangan oleh KPK datanya lengkap di sana,” ungkap Mahfud.

Hal itu menurut dia juga terkonfirmasi oleh hakim peradilan pilkada saat ia menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, karena terungkap hampir semua yang terlibat pilkada kemudian berperkara mengatakan mereka dibiayai cukong.

Ia menyampaikan merujuk kepada data yang dikeluarkan KPK sebanyak 82 persen calon kepala daerah yang ikut pilkada dibiayai oleh cukong.

“Cukong itu dalam KBBI artinya adalah orang yang membiayai orang lain, bahkan lebih banyak cukong-nya ketimbang calon,” ungkapnya.

Ia mengatakan jika sponsor orang jelas. Sedangkan cukong orangnya tidak kelihatan atau diam-diam. (*)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.